Otoritas Palestina di Tepi Barat menuntut pemerintah Israel membayar pajak yang menjadi sumber pemasukan mereka. Pemerintah zionis dinilai melanggar perjanjian internasional karena menunda pembayaran tersebut.
Dilansir Reuters, Senin 19 Maret 2012, kedua pihak saat ini tengah menggelar pembicaraan terkait hal tersebut. Delegasi Palestina, Mohammed Shtayyeh, mengatakan Israel telah melanggar Protokol Paris tahun 1994 yang mengatur kewajiban pajak bagi Israel kepada Palestina.
"Israel telah mematikan kesepakatan ekonomi Paris dengan dalih keamanan dan pencegahan pergerakan kebebasan rakyat. Otoritas Palestina harus memiliki kedaulatan atas wilayah mereka," kata Shtayyeh.
Menurut Protokol Paris dan kesepakatan damai, Israel yang telah menduduki Tepi Barat sejak 1967 harus memberikan hasil pajak dan bea cukai barang yang masuk ke wilayah tersebut kepada Otoritas Palestina. Setiap bulannya, Israel membayarkan sekitar US$100 juta, menjadikan pajak sebagai salah satu pemasukan utama Palestina.
Namun, belakangan pemerintahan Benjamin Netanyahu membekukan seluruh pembayaran pajak menyusul situasi keamanan yang memanas dan ketegangan diplomatis. Langkah ini memicu gelombang protes dari berbagai komunitas internasional.
"Masih ada beberapa kesulitan, tapi kami harap kesepakatan akan segera dicapai, demi keuntungan Otoritas Palestina dan Israel," kata Menteri Keuangan Israel Yuval Steinitz, Minggu waktu setempat.
Selain meminta pembayaran pajak yang menjadi hak mereka, Palestina menuntut adanya catatan elektronik setiap barang masuk dan memberikan wewenang bagi petugas Palestina untuk mengawasi aliran barang demi mencegah penggelapan pajak.
Dengan langkah ini, diharapkan pemerintah Palestina tidak perlu melakukan pemotongan upah dan jaminan sosial untuk membayar utang mereka. (umi)
• VIVAnews