Lebih dari dua per tiga rakyat Amerika Serikat menyalahkan Presiden Barack Obama atas tingginya harga BBM di negara tersebut. Kebijakan prioritas energinya dianggap mencederai perekonomian negara.
Ini terungkap dari hasil survei online terbaru dari Reuters/Ipsos, yang digelar 26-27 Maret 2012. Diberitakan Reuters, Rabu 28 Maret 2012, 68 persen responden mengaku tidak setuju cara Obama dalam mengatasi tingginya harga BBM. Hanya 24 persen yang menyatakan mendukung.
Mereka yang tidak setuju berasal dari berbagai latar belakang partai, baik pendukung Partai Republik, Demokrat maupun independen. Survei ini diikuti oleh 606 responden dengan interval kredibilitas plus atau minus 4,6 persen.
Isu tingginya harga BBM sebelumnya telah menjadi bola panas bagi Obama dan partainya jelang pemilihan Presiden November mendatang. Dalam beberapa bulan terakhir, pemerintah AS menaikkan harga BBM US$0,30 menjadi US$3,90 atau setara Rp35.872 per galonnya, menyesuaikan harga minyak dunia.
Sebanyak 69 persen responden dari Partai Republik menyatakan tidak setuju kenaikan harga BBM, sementara itu dari kubu demokrat sebanyak 53 persen dan independen 73 persen.
Selain Obama, responden juga menyalahkan keserakahan perusahaan minyak atas peningkatan harga BBM. Sebanyak 36 persen responden mengatakan naiknya harga karena perusahaan minyak ingin mengeruk banyak keuntungan.
Sebanyak 26 responden menyebutkan faktor-faktor lain penyebab tingginya harga minyak, termasuk di antaranya adalah politisi, perusahaan asing yang menguasai cadangan minyak, dan ahli lingkungan yang mencoba membatasi eksplorasi minyak. (ren)
• VIVAnews